Sadarkah kita betapa banyak yang
telah rakyat sumbangkan untuk Negara? Disamping korban perasaan karena pasti
selalu ditipu badut-badut ketika pemilu atau pilkada, juga waktu, dan kekayaan. Dan yang
paling parah adalah kewajiban upeti dengan kata sakti “Hitung kewajiban..bayarkan..laporkan..awasi
penggunaannya.” Sering kita dengar bukan slogan upeti itu. Dan ternyata alangkah
idiotnya.
Begini alasannya kenapa kusebut
idiot. Segala sesuatu yang kita dapatkan, tanpa campur tangan penguasa
sekalipun yang dianggap sebagai penghasilan wajib kita hitung, tidak hanya
menghitung setelah itu bayar sejumlah lebih dari wajib zakat, sekalipun zakat
Tuhan yang perintahkan. Bayar di bank ngantri hanya sampai jam 10 pagi, jadinyapun keesokan hari, masih mending di kantor pos karena
menerima pembayaran sedikit lebih siang dengan catatan komputernya tidak lagi
trouble atau nggak lagi earth hour versi PLN. Bukan hanya hitung dan bayar tetapi
harus benar. Kurang ditagih, lebih kalau kita minta hak kita (restitusi istilah
mereka) diperiksa, bayar denda, bukannya kembali malah tambah upeti. Ini
ke-idiotan pertama. Betapa penguasa tidak percaya pada rakyat yang menggaji
mereka.
Laporkan, poin ketiga..bukankah
sudah canggih dunia IT kita. Pembayaran upeti di bank mestinya bisa secara
online disampaikan ke kantor pajak. Entah diolah berupa data atau apa. Bukankah
di SSU (Surat Setoran Upeti) telah jelas, ada nama WU (Wajib Upeti), alamat,
NPWU (Nomor Pokok Wajib Upeti), membayar apa sebesar berapa…sudah jelas dan
bank juga menginput sejelas-jelasnya, jadi kenapa mesti laporan lagi. Entah ini
ketololan atau memang pantas disebut ke-idiotan yang kedua.
Sesudah itu, poin keempat dari
slogan itu adalah awasi penggunaanya. Puncak dari rantai idiot. Kok kayaknya
tidak ada yang digunakan dari upeti itu. Masih banyak sekolah yang rusak, jalan
apalagi, rusak dan semua tanpa marka. Ladang eksekusi pengendara oleh penguasa. Apalagi Papua dan pulau-pulau perbatasan lain sebagian
bahkan semua mesti lewat jalur udara. Listrik tidak merata, air bersih tidak
tersedia. Terus apanya yang mau diawasi, kalau tidak ada yang digunakan.
Disamping pembahasan tentang slogan konyol yang melimpahkan seuruh kewajiban hanya kepada para pembayar upeti, sedikit kita renungkan bahwa pegawai
dirjen upeti telah mendapat remunerasi utuh, penghasilan yang diberikan rakyat
untuk mereka mungkin sama dengan pegawai swasta, 5 kali atau lebih abdi dalem
lain, 10-100 kali rakyat lain yang bukan pegawai atau abdi dalem penguasa,
kubaca di Koran GTT ada yang berpenghasilan 150.000 per bulan. Pertanyaannya,
apa yang sebenarnya mereka kerjakan kalu semua sudah dilimpahkan kepada
pembayar upeti sesuai jargon itu ? Ku menduga tugas mereka meraup upeti untuk
mereka sendiri dan atasan mereka memastikan tidak ada yang tersisa untuk
rakyat..karena kalau samapi tercecer itu mengotori, seperti remah roti yang
tercecer hanya akan mengundang semut dan lalat..dan dimata mereka rakyat tidak lebih dari lalat yang menyusahkan dan mengotori. Kalaupun ada untuk rakyat tidak lebih hanya
untuk formalitas saja.
Mumpung belum diazab Sang Maha
Perkasa, silahkan rampok upeti-upeti itu, dari para pegawai bahkan sampai sebelum
upeti itu dibayarkan, di badan anggaran senayan ketika dibagi-bagikan, sampai
ke para pejabat wakil penguasa ketika upeti itu dilaksanakan penggunaannya.
Tapi..tetapi kurenungkan lagi, kalu
memang disebut upeti dan memang harus disebut upeti, ternyata memang upeti
adalah penghasilan rakyat untuk penguasa, jadi bukan slogan itu yang idiot tetapi
penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar