Selasa, 12 Februari 2013

Donor Darah (dalam Islam)

Dalam dunia medis, donor darah berarti orang yang menyumbangkan darah kepada orang lain dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa orang yang membutuhkan. 

Ulama fikih menetapkan bahwa perbuatan menyumbangkan darah dibolehkan untuk membantu sesama manusia yang amat membutuhkan.
Dalam ajaran Islam, disamping bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, juga bertujuan untuk menghindari segala bentuk kemudaratan atau yang merugikan manusia.
 

Menyumbangkan darah kepada orang lain yang amat membutuhkannya, menurut kesepakatan para ahli fikih, termasuk dalam kerangka tujuan syariat Islam, yaitu menghindarkan salah satu bentuk kemudaratan yang akan menimpa diri seseorang. 

Oleh sebab itulah, ulama fikih menetapkan bahwa perbuatan menyumbangkan darah termasuk dalam tuntutan Allah SWT dalam Surah Al-Maidah (5) ayat 2, “... dan tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”  

Selain ayat di atas, ulama fikih juga mendasarkan pendapat mereka kepada tindakan Rasulullah SAW dalam berbekam (HR, Bukhari dari Anas bin Malik). Yang dimaksud dengan berbekam, menurut para ahli fikih, adalah mengeluarkan atau mengisap darah dari bagian-bagian anggota tubuh, misalnya dari kuduk, untuk membersihkan darah dan agar mendapatkan darah baru lagi. 

Tujuan berbekam adalah untuk menurunkan tekanan darah sekaligus menghilangkan rasa sakit kepala. Dalam pemikiran ulama hadis, berbekam itu adalah salah satu bentuk mengeluarkan darah yang digunakan untuk pengobatan sebagian penyakit yang ada dalam tubuh. 

Darah yang dikeluarkan itu sama sekali tidak digunakan. Tindakan itu telah dilakukan beberapa kali oleh Rasulullah SAW. Karenanya, ulama fikih menganalogikan perbuatan Rasulullah SAW itu dengan perbuatan menyumbangkan darah.  

Apabila Rasulullah SAW berbekam untuk menghilangkan penyakit dan darah yang diisap keluar itu dibuang saja, maka menyumbangkan darah tentu juga dibolehkan, karena tujuannya tidak hanya sekadar menghilangkan penyakit, bahkan untuk menyelamatkan jiwa orang lain. Menyelamatkan nyawa orang lain adalah salah satu bentuk pemeliharaan terhadap ad-daruriyyat al-khamsah (lima kebutuhan pokok) yang dituntut oleh syariat Islam. 

Berkaitan dengan darah hasil bekam, ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa Abu Tayyibah, tukang bekam Nabi SAW, sengaja meminum darah hasil bekam dari Nabi SAW dengan tujuan mendapatkan berkah dari darah tersebut.
Padahal Nabi SAW melarang untuk meminumnya. Menurut Mazhab Hanafi, larangan tersebut disebabkan darah hasil bekam tersebut sudah diletakkan sebelumnya dalam sebuah bejana, sehingga darah itu sudah terpisah dari tubuh.
Darah yang sudah terpisah dari tubuh hukumnya najis dan karena najis, tidak boleh dimanfaatkan. 

Namun, cara yang ditempuh ahli medis dengan transfusi darah, menurut AbdusSalam Abdur Rahim As-Sakari, ulama fikih kontemporer dari Mesir, tidak demikian.  

Transfusi darah dilakukan melalui alat khusus yang bisa memindahkan darah seseorang kepada orang lain tanpa mengubah sedikit pun zat-zat darah tersebut dan darah itu belum terpengaruh sama sekali oleh udara; karena, meskipun darah itu dipindahkan dahulu ke dalam tabung, tabung tersebut adalah tabung khusus yang telah steril. 

Oleh karena itu, darah itu masih tetap sama sebagaimana dengan darah yang terdapat dalam tubuh donor. Dengan demikian, darah dalam tabung itu tidak bersifat najis. 

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa di sebagian daerah, khususnya di daerah panas, diperlukan penggantian darah tubuh seseorang untuk menjaga stamina tubuhnya. Dengan demikian, berbekam diperlukan agar darah menjadi baru kembali. 

Upaya memperbarui darah tersebut, menurut Abdus Salam Abdur Rahim As-Sakari, di zaman modern dilakukan dengan menyumbangkan (diambil) darahnya dan darah yang diambil tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyelamatkan nyawa orang yang membutuhkannya.

Menurut ulama fikih, kendati darah memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup manusia, pemindahan darah seseorang ke tubuh orang iain tidak membawa akibat hukum apa pun dalam Islam, baik yang berkaitan dengan masalah perkawinan maupun yang berkaitan dengan masalah warisan.  
Dalam hubungan perkawinan, yang saling mengharamkan nikah itu hanya disebabkan adanya hubungan nasab (keturunan), hubungan musaharah (persemendaan), dan hubungan rada'ah (susuan).

Syarat Umum Donor 
1. Usia 18-60 tahun 
2. Berat minimal 45 kg
3. Suhu oral tidak boleh melebihi 37,5 ᶛC
4. Nadi antara 48 - 100 per menit
5. Tekanan darah – di bawah kebijaksanaan petugas medis
6. Hemoglobin tidak boleh kurang dari 12,5 gr%
7. Tidur malam sebelum donor darah harus cukup minimal 5 jam.
8. Sudah sarapan / makan.
9. Persyaratan Medis :
   * Calon donor darah dengan penyakit-penyakit berikut ini tidak boleh donor: 
     - Penyakit paru aktif
     - Serangan demam rematik
     - Penyakit kardiovaskular
     - Penyakit ginjal
     - Reaksi alergi yang sedang kambuh
     - Kanker
     - Filiariasis (penyakit kaki gajah)
     - HIV/AIDS 
     - Diabetes bawah oral hipoglikemik insulin dan obat-obatan
     - Asma dalam waktu dua bulan terakhir serangan
     - Sawan, epilepsi atau penyakit mental lainnya
     - Eksim, dermatitis kronis atau rutin dan kambuh
     - Ulkus/tukak lambung akut dalam dua tahun terakhir
     - Penyakit kulit kronis
     - Sifilis & penyakit menular seksual lainnya
     - Hepatitis B, Ikterus (sakit kuning)
     - Malaria – orang yang telah malaria tiga tahun lalu, tetapi tanpa kekambuhan bisa mendonorkan darah

* Wanita hamil sampai dengan12 bulan setelah melahirkan, selama haid, menyusui sampai dengan 3 bulan setelah berhenti menyusui

* Penerima transfusi darah atau plasma yang telah menerima transfusi darah dalam enam bulan terakhir tidak dapat memberikan darah

* Orang yang memiliki penyakit serius dalam tiga bulan terakhir

* Pekerjaan yang berbahaya – orang yang mengoperasikan alat berat seperti mesin berat, derek, bus, kereta api atau terlibat dalam pekerjaan yang sama, berbahaya bagi diri mereka sendiri dapat memberikan darah, tetapi seharusnya tidak melanjutkan pekerjaan mereka selama paling sedikit lima jam setelah donasi


* Jarak penyumbangan darah : 2,5 - 3 bulan ( maksimal 5 kali /tahun ) 

* Dapat donor : 12 bulan setelah mendapat vaksinasi Rabies dan Hepatitis B, 4 minggu setelah imunisasi Rubella, 2 minggu setelah Immmunisasi polio, Varisella, MUMPS, Yellow fever. 

* Dapat donor : 3 hari setelah minum obat mengandung aspirin, 12 bulan setelah pengobatan siphylis, GO 

* Dapat donor 3 hari setelah pencabutan gigi, 6 bulan setelah operasi kecil, 12 bulan setelah operasi besar.

* Dapat donor 12 bulan setelah di tatto, ditindik, di tusuk jarum.  Kulit lengan donor didaerah tempat penyadapan harus sehat tanpa kelainan



Syarat Donor dalam Islam
Sekalipun ulama fikih sepakat menyatakan bahwa menyumbangkan darah itu hukumnya boleh, namun mereka mengemukakan beberapa syarat bagi pihak donor, di antaranya sebagai berikut:  

1. Pihak donor tidak dirugikan ketika transfusi darah dilaksanakan. Artinya, setelah transfusi darah itu orang yang memberikan darah tidak menanggung risiko apa pun akibat donor darah tersebut.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa "suatu kemudaratan tidak dihilangkan jika menimbulkan kemudaratan lain”, kemudian “menghilangkan kemudaratan itu sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan".

Oleh sebab itu, diperlukan ketelitian para ahli medis untuk menentukan bisa atau tidaknya seseorang menjadi donor darah.


 2. Transfusi darah itu dilakukan benar-benar di saat yang amat membutuhkan (darurat), yaitu untuk menyelamatkan nyawa orang lain. 

3. Pihak donor tidak menderita penyakit, yang apabila darahnya diberikan kepada orang lain penyakitnya itu akan berpindah kepada penerima darah. 

4. Perbuatan menyumbangkan darah itu dilakukan dengan suka- rela, tanpa paksaan dan tanpa bayaran.

Hukum Jual Beli Darah Terkait dengan persoalan menyumbangkan darah, menurut ulama fikih, adalah persoalan memperjualbelikan darah dengan tujuan menyelamatkan nyawa orang.

Memperjualbelikan darah dengan dalih apa pun, menurut kesepakatan ahli fikih, tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Alasan mereka, darah itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari zat manusia secara biologis, karena tanpa darah manusia tidak bisa hidup.  

Sekalipun pengurangan sebagian darah dari dalam tubuh melalui transfusi dan lainnya tidak mencelakakan diri seseorang, tetapi memperjualbelikannya tetap tidak dibolehkan. 

Di samping itu, menurut ulama fikih, darah bukanlah salah satu komoditas yang dibolehkan syarak untuk diperdagangkan seperti dijelaskan Allah SWT dalam surah Albaqarah (2) ayat 173 yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah..." 

Ayat yang senada dengan itu dijumpai pula dalam surat An-Nahl (16) ayat 115. Ayat ini, menurut ulama fikih, secara tegas menyatakan bahwa memanfaatkan darah itu, seperti memakan atau meminum, merekayasa, dan memanfaatkan yang bersifat konsumtif lainnya, adalah dilarang, termasuk di dalamnya memperjualbelikannya.

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW dari Abdulah bin Abbas dikatakan, ”Saya melihat Rasulullah SAW sedang duduk."
"la memandang ke langit seraya berkata, ‘Allah melaknat orang Yahudi sebanyak tiga kali, (karena) sesungguhnya Allah telah melarang mereka memakan bangkai dan darah lalu mereka merekayasa, menjual, dan memakan hasil penjualannya’.” (HR. Abu Dawud). 

Berdasarkan hadis itu para ahli fikih menyatakan bahwa dilarang memperjualbelikan darah, karena memakan hasil penjualannya diharamkan. 

Dalam hadis lain dari Aun bin Abi Juhfah dikatakan, "Saya melihat ayah saya membeli darah hasil berbekam. Lalu saya tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW ketika itu melarang memakan hasil penjualan anjing, hasil penjualan darah...” (HR. Bukhari). 

Hadis ini, menurut ulama fikih, secara tegas menyatakan keharaman memakan hasil penjualan darah. Kaidah fikih juga menetapkan bahwa jika dilarang menggunakan hasil penjualan darah, maka menjual darah itu pun dilarang. 

Oleh sebab itu, menurut As-Sakari, segala cara yang mengacu kepada pemberian imbalan bagi donor darah tidak dibenarkan syarak, kecuali makan dan minum yang diberikan kepada seseorang yang telah ditransfusi darahnya dengan tujuan mengembalikan staminanya. 

Hal ini, menurut As-Sakari, bukanlah merupakan suatu imbalan yang bermakna jual beli, karena tujuannya bukan sebagai bayaran sama sekali, melainkan untuk mengembalikan stamina donor.