Kamis, 20 September 2012

Upeti (baca Pajak)

Sadarkah kita betapa banyak yang telah rakyat sumbangkan untuk Negara? Disamping korban perasaan karena pasti selalu ditipu badut-badut ketika pemilu atau pilkada, juga waktu, dan kekayaan. Dan yang paling parah adalah kewajiban upeti dengan kata sakti “Hitung kewajiban..bayarkan..laporkan..awasi penggunaannya.” Sering kita dengar bukan slogan upeti itu. Dan ternyata alangkah idiotnya.

Begini alasannya kenapa kusebut idiot. Segala sesuatu yang kita dapatkan, tanpa campur tangan penguasa sekalipun yang dianggap sebagai penghasilan wajib kita hitung, tidak hanya menghitung setelah itu bayar sejumlah lebih dari wajib zakat, sekalipun zakat Tuhan yang perintahkan. Bayar di bank ngantri hanya sampai jam 10 pagi, jadinyapun keesokan hari, masih mending di kantor pos karena menerima pembayaran sedikit lebih siang dengan catatan komputernya tidak lagi trouble atau nggak lagi earth hour versi PLN. Bukan hanya hitung dan bayar tetapi harus benar. Kurang ditagih, lebih kalau kita minta hak kita (restitusi istilah mereka) diperiksa, bayar denda, bukannya kembali malah tambah upeti. Ini ke-idiotan pertama. Betapa penguasa tidak percaya pada rakyat yang menggaji mereka.

Laporkan, poin ketiga..bukankah sudah canggih dunia IT kita. Pembayaran upeti di bank mestinya bisa secara online disampaikan ke kantor pajak. Entah diolah berupa data atau apa. Bukankah di SSU (Surat Setoran Upeti) telah jelas, ada nama WU (Wajib Upeti), alamat, NPWU (Nomor Pokok Wajib Upeti), membayar apa sebesar berapa…sudah jelas dan bank juga menginput sejelas-jelasnya, jadi kenapa mesti laporan lagi. Entah ini ketololan atau memang pantas disebut ke-idiotan yang kedua.

Sesudah itu, poin keempat dari slogan itu adalah awasi penggunaanya. Puncak dari rantai idiot. Kok kayaknya tidak ada yang digunakan dari upeti itu. Masih banyak sekolah yang rusak, jalan apalagi, rusak dan semua tanpa marka. Ladang eksekusi pengendara oleh penguasa. Apalagi Papua dan pulau-pulau perbatasan lain sebagian bahkan semua mesti lewat jalur udara. Listrik tidak merata, air bersih tidak tersedia. Terus apanya yang mau diawasi, kalau tidak ada yang digunakan. 

Disamping pembahasan tentang slogan konyol yang melimpahkan seuruh kewajiban hanya kepada para pembayar upeti, sedikit kita renungkan bahwa pegawai dirjen upeti telah mendapat remunerasi utuh, penghasilan yang diberikan rakyat untuk mereka mungkin sama dengan pegawai swasta, 5 kali atau lebih abdi dalem lain, 10-100 kali rakyat lain yang bukan pegawai atau abdi dalem penguasa, kubaca di Koran GTT ada yang berpenghasilan 150.000 per bulan. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya mereka kerjakan kalu semua sudah dilimpahkan kepada pembayar upeti sesuai jargon itu ? Ku menduga tugas mereka meraup upeti untuk mereka sendiri dan atasan mereka memastikan tidak ada yang tersisa untuk rakyat..karena kalau samapi tercecer itu mengotori, seperti remah roti yang tercecer hanya akan mengundang semut dan lalat..dan dimata mereka rakyat tidak lebih dari lalat yang menyusahkan dan mengotori. Kalaupun ada untuk rakyat tidak lebih hanya untuk formalitas saja.

Mumpung belum diazab Sang Maha Perkasa, silahkan rampok upeti-upeti itu, dari para pegawai bahkan sampai sebelum upeti itu dibayarkan, di badan anggaran senayan ketika dibagi-bagikan, sampai ke para pejabat wakil penguasa ketika upeti itu dilaksanakan penggunaannya.

Tapi..tetapi kurenungkan lagi, kalu memang disebut upeti dan memang harus disebut upeti, ternyata memang upeti adalah penghasilan rakyat untuk penguasa, jadi bukan slogan itu yang idiot tetapi penulis.